Waktu Dan Perjalanan Mengubahku Menjadi Pro Poligami
Waktu Dan Perjalanan Mengubahku Menjadi Pro Poligami
Banyak orang yang tahu kalau aku seperti kebanyakan
perempuan lainnya, tidak begitu menyetujui ide dan pilihan poligami. Aku ingat
sekali dulu semasa suamiku masih hidup saja, aku sampai melabrak empat
perempuan yang kutengarai dekat dengan suamiku. Satu, santri pondok mertuaku
yang memang sudah naksir berat suamiku sejak dia masih belum menikah. Dua,
tetanggaku sendiri yang genit walaupun sudah punya suami. Tiga, sepupu suamiku
yang beralibi bisnis-an dengannya. Empat, mantan penggemar suamiku jaman SMA
yang ketemu lagi pas reuni-an padahal juga sudah bersuami sebenarnya. Dus, aku
benci sama perselingkuhan plus tidak suka perpoligamian. Cemburu adalah kata
kunci utamanya.
Tapi manusia ternyata berubah seiring waktu dan
perjalanan dalam kehidupannya. Demikian pula diriku. Perubahan perasaan,
perubahan paradigma, perubahan mindset, perubahan sikap akan pilihan-pilihan,
tidak terjadi dalam sejekap, tetapi melalui proses yang acapkali tidak kita
sadari.
Sembilan tahun yang lalu, suami sahabatku meninggal
dalam kecelakaan di Tol Cikampek. Anak mereka waktu itu, laki-laki tiga tahun
dan perempuan satu setengah tahun. Kakak
iparnya yang kyai pesantren peninggalan
mertuaku, jadi dekat dengannya dan melalui sikap serta sindiran bermaksud
menjadikan mereka bagian dari keluarganya. Ibu mertuanya juga terlihat meng-amin-kan. Adik laki-lakinye
bahkan juga mendukung ide poligami ini. Karena dengan begitu anak perempuannya
dengan ayah tirinya nantinya memang sejak awal adalah muhrim, jadi tidak
membatalkan wudlu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena kita tahu sendiri
betapa rawannya anak perempuan itu. Kakak iparnya dengan keilmuan dan kasih sayangnya akan
menjadi sosok ayah pengganti yang tepat bagi anak-anaknya. Apalagi adik
laki-lakinya ini memandang bahwa janda
mati ini secara finansial bisa mandiri karena bekerja sendiri, tidak akan
memberatkan dan membebani keluarga kakak iparnya. Tetapi tentu saja istri kakak
iparnya tidak mau dipoligami. Dia telah melihat gejala-gejala itu, dan langsung
memperlihatkan sikap penolakan. Ketika suatu malam kakak iparnya dengan
sindiran meminta ijin, sang istri menangis dan mojok semalaman. Puncaknya
akhirnya janda mati dengan dua yatim masih balita itu yang diungsikan dari
lingkungan pesantren, dipulangkan ke kota asalnya.
Saat kejadian itu menimpa sahabatku sembilan tahun
lalu, sesungguhnya tidak begitu kupikirkan. Karena kemudian dia sibuk bekerja,
mengasuh dua anak yatimnya dan banyak kegiatan lainnya, sehingga seolah dia tak
lagi butuh pendamping untuk sementara itu. Hingga akhirnya peristiwa-peristiwa
belakangan ini yang justru menimpa orang-orang lain (9 janda dan 23 yatim di
sekitarku) yang membuatku berpikir, merenung dan kemudian mencari tahu.
Ada janda (M) dengan empat yatim yang menjadi istri
kedua, tetapi disorot tetangga dan publik karena dianggap kok mau-maunya
bahagia di atas penderitaan istri pertama, kegatelan, murah dan seterusnya dan
sebagainya, anggapan-anggapan negatif. Kebanyakan orang mungkin tidak begitu
paham penderitaan dan bebannya.
Ada perempuan (A) yang sudah dinikahi, menjadi istri
kedua. Tetapi kemudian dipaksa cerai oleh istri pertama dan diberi pesangon
untuk kelahiran anaknya.
Ada perempuan (R) yang sudah dinikahi, menjadi istri
kedua. Sama juga, dengan paksaan istri pertama kepada suaminya, akhirnya dia pun diceraikan.
Dua peristiwa itu membuatku bertanya di mana sisi
kemanusiaannya kok bisa dengan teganya melempar dan membuang istri kedua. Apa
yang terjadi pada mereka yang dinistakan ini? Aku selalu bertanya-tanya, tapi
karena tidak pernah bertemu mereka langsung jadi belum tahu jawabannya.
Perempuan lainnya lagi (H) dimanfaatkan oleh pria
beristri tetapi mengaku bujang selama tiga tahun. Ketika akhirnya dia tahu
kalau pria itu beristri, yang kemudian mencampakkannya begitu saja, ia datang
padaku untuk curhat. Syukurlah ada pria lain mau menerima dia apa adanya, jadi
kusarankan agar dia membuka lembaran baru dengan pria yang mencintainya sepenuh
hati ini. Alhamdulillah mereka bahagia sekarang. Ini juga yang bekalku menulis
How To Reset Your Life yang akhirnya terbit tahun ini. Bisa dibeli di toko buku
Gramedia dan lainnya.
Tapi tentu saja tidak semua perempuan bisa seperti H,
perempuan lainnya (K) dimanfaatkan juga oleh duda selama beberapa tahun.
Padahal K ini sudah beristri, tetapi memang dalam masa rawan perceraian. K
sedang mengurus perceraian dengan suaminya untuk bisa menikah dengan duda itu,
tapi sang duda justru menikah dengan perawan. K marah, kesal dst, dan saat ini
sedang menuntut pertanggungjawaban lelaki itu. K rela menjadi istri kedua demi
ketenangan hidupnya.
Ada lagi
perempuan lain (We) Cerita ini sudah pernah kubagikan di salah satu antologiku
tentang poligami yang kutulis bareng teman-teman beberapa tahun lalu. Jadi
ceritanya, si mbak (sebut saja namanya We) ini seorang perawan tua. Karena
sudah berusia empat puluh lima tahun tetapi belum menikah. Selain miskin,
wajahnya cenderung jelek, juga ada banyak beban dalam hidupnya karena musti
menjadi tulang punggung bagi ibunya yang sudah janda, tua dan sakit-sakitan serta
adik-adiknya. Oleh sebab itu ketika ada seorang pengusaha selep melamarnya, dia
pun menerima. Meskipun mbak We tahu kalau dia dijadikan istri kedua. Barulah
kemudian setelah beberapa waktu, mbak We sadar bahwa pernikahan itu
sesungguhnya untuk membangkitkan kembali ‘itunya’ si pengusaha yang sudah ‘loyo
dan tak mampu bekerja’. Rupanya setelah pernikahan tersebut, ‘itunya’ si bapak
kembali normal dan dia beserta istri pertamanya memperoleh lagi kebahagiaan
dalam rumah tangga yang selama ini hilang. Sayangnya, si istri pertama kemudian
tega menghasut si bapak ini untuk menceraikan mbak We. Karena dia merasa mbak
We sudah tidak dibutuhkan lagi. Astaghfirullahal adziim.
Dan ada banyak cerita lainnya dengan berbagai latar
belakang, alur dan akibat berbeda-beda.
Keadaan berupa pria tidak dapat menahan kondisi
default-nya membuat mereka mencari 'mangsa' untuk dapat melayani tanpa harus
dinikahi secara sah justru merupakan masalah sebenarnya, bukan poligami. Sebab
poligami adalah solusi terbaik untuk situasi-situasi tersebut. Sosok yang layak
dijadikan pasangan poligami antara lain perempuan
yang sedang dalam keadaan rawan fitnah dan rawan gangguan-gangguan hidung
belang, seperti janda. Sehingga poligami
bermanfaat bukan hanya untuk menghindari
pria dari berzina, tetapi sekaligus menyelamatkan perempuan dari fitnah serta jebakan rayuan yang
memperdaya dan tidak bertanggung jawab.
Kenapa sepertinya poligami yang sebenarnya bisa jadi
solusi, justru ditolak oleh kebanyakan orang dan dipandang buruk oleh
masyarakat. Seolah menjadi semacam calling atau panggilan hidup, kemudian aku
menjadi concern terhadap permasalahan perpoligamian. Apalagi ketika tahu kalau
di Malaysia, poligami ternyata mendapat tempat yang berbeda dalam pandangan
pemerintah dan masyarakatnya, terutama di Kelantan. Justru ada reward bagi
suami yang terang-terangan menunjukkan poligaminya, demi untuk menghindari
mereka yang sembunyi-sembunyi, baik menikah siri ataupun selingkuh. Penghargaan
itu dengan sendirinya akan membentuk society, masyarakat yang memandang positif
terhadap poligami.
Semestinya langkah pemerintah Kelantan ini bisa
diikuti dan diterapkan juga di tempat lain. Hanya saja tentu akan lebih afdhol
jika kita sudah tahu apa benar poligami menyelamatkan kehidupan. Karena dengan
begitu, akan banyak pihak yang mendukung dan mengupayakan agar terciptanya
situasi masyarakat yang kondusif dan tidak lagi memandang buruk pilihan
poligami.
Atau jika ini terkesan terlalu utopia, setidaknya
sebagian orang yang telah mengetahui dan paham hakikat serta manfaat poligami
tidak lagi memojokkan mereka yang mengambil pilihan ini dengan penuh tanggun
Komentar
Posting Komentar